ARTICLE AD BOX
Rangkaiannya, Sabtu (19/10) sore dilaksanakan upacara nganyarin, mekebat daun, nyenuk, nangun ayu, mapeed dan ngerumrum. Upacara ini merupakan salah satu prosesi keagamaan penting yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Prosesi ini tidak hanya melibatkan ritus keagamaan tetapi juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat adat sebagai wujud tanggung jawab bersama.
Ketua Panitia I Made Suada, menjelaskan bahwa prosesi yang dimulai sejak 2 Oktober 2024 ini telah melalui beberapa tahapan penting. Dimulai dengan matur piuning, diikuti dengan ngingsah pada 5 Oktober 2024, hingga mulang pekelem yang dilaksanakan di Gunung Agung, Ulun Danu Batur, dan Segara Melasti pada 7 Oktober 2024. Seluruh proses ini dilakukan berdasarkan konsep tatwa, susila, dan upacara sebuah landasan filosofis yang mengatur pelaksanaan upacara adat Hindu Bali. Pada puncaknya tanggal 10 Oktober 2024, dilaksanakan prosesi Tawur Labuh Gentuh yang dipuput oleh tiga sulinggih dari Siwa, Budha, dan Ida Resi Griya Pundukdawa sebagai Jayamana dan dihadiri oleh ribuan krama dari Desa Adat Ungasan.
“Karya ini merupakan salah satu yang terbesar dan paling penting yang pernah kita laksanakan. Kita telah beberapa kali mengadakan prosesi serupa di pura-pura utama seperti Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Segara,” ujar Made Suada saat ditemui di Pura Segara pada Sabtu (19/10) sore.
Upacara ini, lanjut Made Suada, juga menjadi momentum penting dalam perjalanan pengembangan Desa Adat Ungasan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan sektor pariwisata. Made Suada menambahkan bahwa sejak pelaksanaan karya di Pura Puseh pada 2012, semangat swadaya masyarakat semakin terbentuk. Tidak ada iuran yang dibebankan kepada masyarakat, melainkan seluruh pembiayaan berasal dari pengelolaan Pantai Melasti. Pantai Melasti sendiri telah menjadi destinasi wisata yang berkembang pesat, dan hasil pengelolaannya digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat adat. “Ini semua murni untuk kesejahteraan masyarakat adat, bukan untuk kepentingan pribadi,” tegas pria yang juga menjabat sebagai Pangliman Desa Adat Ungasan.
Sistem pengelolaan keuangan itu dikatakan dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan berbagai pihak berwenang agar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Dia menilai, prosesi ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga simbol dari langkah-langkah nyata Desa Adat Ungasan dalam memanfaatkan sumber daya alam demi kemakmuran masyarakat. Made Suada berharap bahwa upacara serupa dapat dilaksanakan kembali dalam 25 tahun mendatang, sebagai bukti kontinuitas tradisi dan keberlanjutan keharmonisan antara manusia dan alam.
“Semoga kita semua diberikan umur panjang dan kesempatan untuk terus melestarikan adat dan budaya ini,” harapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bendesa Adat Ungasan I Wayan Disel Astawa menyampaikan bahwa upacara ini merupakan bentuk rasa syukur dan terima kasih masyarakat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta Ida Bhatara-Bhatari Kahyangan Tiga dan Parahyangan Desa atas karunia dan berkah yang selama ini yang dilimpahkan. Karya ini dilaksanakan untuk menghormati keberadaan pura yang telah menjadi pusat aktivitas spiritual, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat Ungasan.
“Tempat ini bukan sekadar lokasi upacara keagamaan, tetapi juga tempat berlangsungnya segala kegiatan masyarakat, baik yang bersifat spiritual, sosial, maupun ekonomi,” ujar Disel.
Dia menganggap, jika Pura Segara sebagai pusat pelaksanaan upacara melasti, menjadi tempat penting bagi masyarakat adat untuk menyucikan diri dan memohon keselamatan. “Ada sekitar 38 Pura Panti, Paibon, dan Merajan di desa ini yang melaksanakan upacara pemelastian di Pura Segara,” tambahnya.
Upacara ini, menurut Disel, menjadi wujud kewajiban masyarakat adat untuk setia dan berbakti kepada desa adat serta para Dewa yang telah memberikan kesejahteraan, ketenangan, dan kebahagiaan. Sebagai bagian dari upacara penyineban, masyarakat turut mempersembahkan Tari Kecak yang digelar pada 22 Oktober 2024 mendatang pukul 20.00 Wita, sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur kepada Betara Segara, Kahyangan Tiga, dan Parahyangan Desa.
“Pura Segara adalah tempat penyucian diri, dan melalui karya ini, kami berharap segala berkah dan keselamatan terus dilimpahkan kepada masyarakat Ungasan,” ujarnya. 7 ol3